Aku
tak mencintaimu seperti engkau adalah mawar, atau topas, atau panah
anyelir yang membakar. Aku mencintaimu selayaknya beberapa hal terlarang
dicintai, diam-diam di sela-sela bayangan dan sukma.*
Aku
adalah suami yang lemah lembut dan sangat mencintai istriku. Dialah
satu-satunya perempuan di dunia ini yang bertahta dalam hatiku. Aku
tidak pernah sedikit pun memukulnya, apalagi mencaci maki. Aku tidak
pemabuk, bukan penjudi, tidak pernah menyentuh narkoba, dan tak pernah
terpikirntuk berselingkuh. Sempurna bukan? Aku ingat lagu When A Man Loves A Woman. Dengarkan, itu bukan lagu cengeng, ya.
Kami
menikah pada musim yang kaya dengan matahari tropis dan angin lembut
bertiup manja dari pori-pori awan. Hujan daun berjatuhan dari ranting
ketika kami saling mengucapkan janji seia sekata, sehidup semati. Dalam untung dan malang. Dalam suka dan duka. Dalam sakit dan sehat. Sampai maut memisahkan. Kuucapkan
sumpahku sepenuh hati. Niatku memang tulus dan suci. Hari itu aku
diliputi udara kebahagiaan yang membuatku mabuk kepayang, bagai
menenggak berpuluh-puluh sloki scotch. Belum pernah kulihat
istriku tampak demikian cantik dan bercahaya. Benar, dia sungguh-sungguh
bersinar, seakan dia menjelma menjadi peri kunang-kunang. Aku terharu,
terapung-apung oleh ombak lembut di samudra cintaku kepadanya.
Jangan
katakan aku adalah lelaki yang cengeng atau melankolis, yang mudah
tersentuh oleh hal-hal seperti itu. Apa pun suasananya, aku akan selalu
tersentuh jika melihat kehadiran istriku. Dia mampu mewarnai hidupku dan
menciptakan pelangi setelah hujan turun. Dia adalah kumparan intan
permata yang selalu kusemat dalam lorong jiwa tergelapku.
Malamnya,
kami bercinta di atas ranjang hotel kami yang romantis bertabur puluhan
kelopak mawar. Kucium belakang telinganya yang wanginya seharum rumpun
cemara pada pagi hari. Kuusap bibirnya yang lembut dan kenyal bagai jeli
manis berwarna merah delima. Kurasakan degup jantungnya yang stabil dan
menenangkan pada tanganku. Cintaku meleleh, membungkusnya rapat-rapat,
dari ujung rambut terjauhnya sampai telapak kaki mungilnya. Oh, dia
begitu rapuh dan indah. Tak pernah aku merasakan kekuatan dalam tubuh
ini yang ingin selalu melindunginya dari segala marabahaya. Aku menatap
istriku tanpa henti, seakan waktu tak pernah berputar dan musim tak
pernah mengudar. Aku mati-matian menahan diri agar tidak jatuh tertidur,
agar detik itu mengkristal, menjadi keabadian, tapi toh mata memang
dapat mengkhianati hati. Ketika aku menutup kelopak mataku, aku masih
merasakan bayangnya yang hidup dan bergerak dalam mimpiku.
Dua
bulan kemudian, istriku menyampaikan berita paling manis yang pernah
kucecap. Dia hamil. Aku akan menjadi ayah dan dia akan menjadi ibu.
Bagai berjalan di atas tanah basah setelah hujan embun, aku merasakan
hidupku sungguh lengkap. Kami berlayar di dunia yang penuh manis gulali.
Tidak pernah aku ingin memutar perahu ini kembali pada dermaga yang
dulu.
Ketika
kandungannya berusia tiga bulan, istriku keguguran. Aku menolak
mengatakan bahwa itu adalah peristiwa tersedih yang pernah kualami.
Tidak, peristiwa itu membuat cintaku semakin dalam padanya. Ketika
rahimnya dibersihkan, aku ngotot untuk mendampinginya, menggenggam
jemarinya yang pucat. Dokter sibuk di ujung tungkai kakinya, menyedot
sisa-sisa anak kami dengan alat medis yang tampak seperti vacuum cleaner bagiku.
Istriku dibius tidur. Aku menatap matanya yang terkadang berkedut. Aku
tenggelam dalam mimpinya, memagut tubuhnya rapat dalam pelukanku.
Enam
bulan kemudian dia hamil lagi. Kebahagiaan kami mendapatkan bayi hanya
seumur jagung. Dua bulan setelahnya, dia kembali keguguran. Kali ini
tangisnya bagai kawah gunung berapi yang sedang menggelegak. Dia ingin
mengecek kondisi medisnya. Istriku geram, istriku penasaran, istriku
berkabung. Apa gerangan yang membuatnya selalu keguguran? Aku
mendampingi dan mendukungnya dalam setiap keputusannya. Berbulan-bulan
dia menjelajahi hutan medis. Tes darah. Tes kesehatan. Tes fisik. Tidak
apa-apa, kata semua dokter. Keguguran adalah hal normal yang terjadi
pada calon ibu. Aku menggenggam tangannya erat-erat ketika kepalanya
jatuh tertunduk layu di ruang konsultasi dokter.
Setahun
kemudian, dia hamil lagi. Kali ini dia bertekad untuk menjaga
kandungannya. Istriku beristirahat total di rumah. Dia menyiapkan sarang
kecil di kamar kami. Tiap hari kulihat dia bergelung di atas ranjang,
tidak melakukan apa-apa, hanya berbaring dan bermeditasi. Tidakkah kamu
bosan, tanyaku. Tidak, katanya. Ini semua kulakukan untuk anak kita
tercinta, begitu jawabnya penuh kasih sayang. Kuperhatikan dirinya dalam
gelegak diam yang penuh kebahagian ketika melihat perutnya semakin
membuncit. Istriku terlihat semakin seksi, sensual, dan menggairahkan.
Sembilan bulan melaju demikian cepat. Dia melindungi janinnya baik-baik.
Aku berterimakasih kepadanya atas pengorbanannya yang begitu besar.
Pagi itu ketika embun pertama menetes, dia melahirkan bayi-bayi kami. Ya, bayi-bayi. Bukan
hanya satu bayi. Kami mendapat anugrah dua kali lipat. Bayi kembar yang
manis. Sepasang lelaki dan perempuan. Tak pernah kurasakan kebahagiaan
ini; begitu agung, begitu mewah. Kami memberi nama mereka Sabiya yang
berarti pagi hari dalam bahasa Arab serta Liko yang berarti dilindungi
oleh Buddha dalam bahasa Cina. Dua nama yang benar-benar berbeda;
berasal dari dua kebudayaan, dua bahasa, dan dua agama besar. Aku
mencium dua permata kami sebelum kembali ke ruang perawatan ibu,
mengunjungi kekasih hatiku.
Aku
mencintaimu seperti tumbuhan yang urung mekar, dan membawa jiwa
bunga-bunga itu di dalam dirinya, dan karena cintamu, aroma bumi yang
pekat tumbuh diam-diam di dalam tubuhku.*
& & &
Aku
tidak pernah berhenti mencintainya. Hanya istriku yang menjadi tiang
utama perhatianku dalam hidup. Hanya dia seorang, tak ada lagi. Setelah
melahirkan, dia berubah. Perhatiannya yang dulu bertubi-tubi untukku
menjadi berkurang. Sering kali aku diabaikan. Sering kali aku didiamkan.
Aku selalu bersabar menghadapinya. Kata orang, demikianlah perempuan
yang baru melahirkan. Hormonnya berganti-ganti.
Dia
senang mendekam dalam rumah sekarang. Jarang ingin keluar jika kuajak
berjalan-jalan. Mengenakan daster setiap hari, tak pernah berdandan
lagi. Tubuhnya bau susu. Aku heran, mengapa dia perlu membuat susu
sebanyak itu. Katanya anak-anak kami menyusu dengan rakus. ASI-nya tidak
mencukupi. Aku terdiam mendengar penuturannya.
Pada hari anniversary kami yang kelima, kuajak dia pergi mengunjungi negeri paling romantis yang pernah ada di dunia. Aku telah memesan perjalanan first class, hotel five stars, dan
restoran mewah yang akan memanjakan kami berdua. Selama sepuluh hari
itu aku ingin memusatkan perhatian hanya untuk dirinya saja. Tapi yang
terjadi malah sebaliknya. Aku malas pergi, katanya. Kasihan bayi-bayi
kami tak diajak serta. Aku gigih memaksanya, sampai akhirnya dia
bersedia mengepak koper-koper kami dan menghabiskan sepuluh hari
selanjutnya bersamaku saja.
Aku
bahagia, melihat dia kembali menjadi istriku yang dulu. Dia tampak
bergairah. Cintanya membara untukku. Kami bercinta setiap hari selama
sepuluh hari. Kuisap buliran madu yang menetes turun dari rambut
hitamnya. Kuhirup lelehan karamel yang mengilapkan tubuhnya. Aku
mencintainya sepenuh hati, demi Tuhan. Kami adalah pasangan abadi yang
dirancang oleh surga.
Ketika
pulang, baru mencapai pegangan pintu, istriku kembali berubah lagi.
Kurasakan cintanya padaku segera menyusut. Perhatiannya langsung
terampas oleh hal-hal lain. Bayi-bayi kita rindu, demikian
penjelasannya. Aku tidak percaya bayi-bayi dapat merindu. Kudiamkan
dirinya selama berjam-jam sampai malam menjemput. Istriku tak menyadari
kesedihanku. Dia sibuk di kamar, bersama bayi-bayi. Kudengar pekikan
riangnya dari kamar kami yang kini semakin sepi. Istriku memutuskan
tidur di kamar anak-anak agar selalu dekat dengan mereka.
Tahun-tahun pun terpeleset, meluncur cepat bagai kereta jet costar di
taman bermain. Kata istriku, si kembar kini telah berusia lima tahun.
Dia hendak mengadakan pesta besar-besaran. Untuk pertama kalinya, aku
tidak setuju dengan pendapat istriku. Untuk apa pesta, kataku
menjelaskan lemah lembut. Tapi dia ngotot, sehingga kami pun bertengkar
hebat. Kukatakan padanya untuk segera melupakan ide itu. Dia
tersinggung. Katanya aku lelaki egois yang mementingkan diri sendiri.
Pedih hatiku mendengarnya. Tidak pernah secuil pun aku memikirkan diri
sendiri di atas kepentingannya. Pesta terlupakan tapi perkelahian kami
bagai bibit yang siap pecah untuk menumbuhkan tunasnya.
Aku
lelah dengan rengekannya tentang kenakalan anak-anak. Aku tidak ingin
mengomentari tentang kesukaannya mendadani Sabiya dan kebanggaannya
terhadap ketampanan Liko. Aku capek dengan ceritanya tentang kemajuan
anak-anak di sekolah. Aku tidak ingin sibuk mencari segala hal yang
terbaik buat anak-anak.
Jangan
salah. Aku bukannya tidak ingin membantu kerepotannya dalam rumah
tangga, aku hanya lelah. Aku tidak ingin melakukan apa-apa lagi. Aku
hanya menginginkan cintanya yang dulu begitu meledak-ledak padaku.
Padahal cintaku padanya masih dahsyat. Masih legit. Sering kali aku
melamun memerhatikan dirinya di meja makan. Baru saat mulutku hendak
bercerita tentang segala hal yang ingin kuceritakan padanya—kegiatan
yang dulu sering kami lakukan, dia mendadak harus mengomeli anak-anak.
Katanya anak-anak tidak menghabiskan sop mereka. Terpaksa aku diam lagi.
Dengan layu dan sedih kuperhatikan wajahnya yang menua, tampak
garis-garis kerutan di sana sini. Aneh. Bukannya dia bertambah buruk di
mataku, istriku semakin cantik jelita.
Aku
mencintaimu tanpa mengerti bagaimana, sejak kapan, atau dari mana. Aku
mencintaimu dengan sederhana, tanpa kebimbangan, tanpa kesombongan. Aku
mencintai seperti ini, karena tak ada cara lain untuk mencintai.*
& & &
Dua
puluh tiga tahun telah berlalu. Dua puluh tiga tahun aku telah menikah
dengannya. Dua puluh tiga tahun aku tak pernah surut mencintai istriku.
Dia pilar hidupku. Dia cahaya mercusuarku. Dia bertahta di jiwaku
selamanya.
Tapi
kali ini terlalu kelewatan. Istriku semakin menuntut macam-macam
dariku. Si kembar akan berusia tujuh belas tahun, katanya. Mereka pengin
pesta sweet seventeen di hotel termewah di kota ini. Acaranya harus sempurna. Dia tidak peduli dengan harga katering atau even organizer yang
akan disewa olehnya. Sebenarnya aku peduli, tapi aku diam. Karena aku
mencintainya, kubiarkan dia melakukan hal-hal yang disukainya. Demi
anak-anak, katanya memohon. Sekali dalam hidup kita, biarlah kita
menyenangkan anak-anak.
Pesta itu sangat mewah. Ballroom terbesar
disewa olehnya. Makanan berlimpah untuk ratusan tamu. Ruangan itu
dihias, didekor dengan sempurna. Aku tidak ingin datang ke pesta. Aku
sengaja berlambat-lambat di kantor, menyibukkan diri dengan meeting.
Sebenarnya aku ingin ke luar kota saja, mengadakan perjalanan bisnis,
biar tidak usah menghadiri pesta yang menurutku bodoh itu. Tapi istriku
memohon agar aku tidak pergi ke luar kota. Entah untuk keberapa ratus
kalinya, kukabulkan permohonannya. Gara-gara itu, dia menerorku dengan
telepon sepanjang hari, mengingatkanku agar pulang cepat dan pergi ke
pesta dengannya.
Akhirnya
setelah berhasil mengulur waktu selama dua jam lebih, aku pulang juga.
Di rumah, mata istriku tampak sembap karena terlalu lelah menungguku.
Baiklah, aku menyerah. Aku sungguh mencintainya karena itu kupaksakan
diriku mengenakan jas hitam yang telah disiapkan olehnya. Istriku tampak
berseri-seri dalam balutan gaun pestanya. Aku jadi ingat malam
pernikahan kami. Betapa cantiknya dia. Betapa bersinar-sinarnya dia.
Jika harus kulakukan hal ini untuk membahagiakannya, aku tak perlu
berpikir dua kali.
Di ballroom, pesta
nyaris mulai. Kugandeng tangan istriku yang terasa dingin dan pucat.
Para pelayan hotel berdiri di setiap ujung, mengamati gerak-gerik kami.
Aku tersenyum, mengangguk kepada mereka. Istriku berjalan ke tengah
ruangan. Aku berdiri di sana bersamanya. Aku ingat lagi ketika kami
menikah, berjalan berdua, setengah mati berbahagia. Jika hidupku
ditakdirkan untuk mencintainya, biarlah kuarungi jalan ini.
Di tengah ruangan, kami berdiri berdua. Hanya berdua. Sepasang kakek-nenek bergandengan penuh cinta. Tak ada siapa-siapa di ballroom.Kutatap
matanya yang mulai merabun. Dia berbisik lirih agar aku memaafkan
dirinya yang bodoh. Aku menatapnya masih dengan penuh cinta dan haru.
Aku tidak pernah punya simpanan maaf untuknya, karena di mataku dia tak
pernah salah.
Anak
kami, Sabiya dan Liko, hari ini memang berusia tujuh belas tahun.Tujuh
belas tahun yang lalu, mereka meninggal setelah dilahirkan istriku.
Sepasang bayi kembar siam dempet di kepala itu hanya bertahan empat jam
di pelukan lembut istriku. Kami menguburkan mereka. Ini tidak benar.
Orangtua tidak seharusnya menguburkan anak, melainkan kebalikannya.
Istriku tidak hanya menguburkan anak-anak kami, dia juga harus rela
menguburkan mimpinya memiliki anak kandung. Rahimnya mati bersama
bayi-bayi tercinta kami. Terus terang, aku tidak pernah peduli dengan
kenyataan itu. Bagiku, dia tetaplah istriku yang paling sempurna.
Kugandeng kekasihku dan kuberikan sinyal kepada para pelayan agar segera memulai pesta. Musik pun mengalun dari orchestra yang
disewa khusus olehnya. Makanan disajikan. Aku memeluk istriku di
tengah-tengah ruangan. Perlahan-lahan, lampu kristal meremang dan hujan
kelopak mawar berjatuhan dari atas. Kuayun langkahnya, kudekap tubuh
hangatnya, dan kucium pipinya. Kami berdansa sampai malam menggigit
bulan. Hanya kami berdua, saling menyentuh penuh kasih sayang. Hanya
kami berdua, karena aku sangat mencintainya. Sesederhana itu. Sungguh.
Di
sini, di mana "aku" dan "kau" tiada, begitu erat, hingga tanganmu di
atas dadaku adalah tanganku. Begitu erat, hingga ketika kau tertidur,
kelopak matakulah yang tertutup.*