This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 30 Juni 2013

ISTRI YANG PALING SEMPURNA


Aku tak mencintaimu seperti engkau adalah mawar, atau topas, atau panah anyelir yang membakar. Aku mencintaimu selayaknya beberapa hal terlarang dicintai, diam-diam di sela-sela bayangan dan sukma.*

Aku adalah suami yang lemah lembut dan sangat mencintai istriku. Dialah satu-satunya perempuan di dunia ini yang bertahta dalam hatiku. Aku tidak pernah sedikit pun memukulnya, apalagi mencaci maki. Aku tidak pemabuk, bukan penjudi, tidak pernah menyentuh narkoba, dan tak pernah terpikirntuk berselingkuh. Sempurna bukan? Aku ingat lagu When A Man Loves A Woman. Dengarkan, itu bukan lagu cengeng, ya.

Kami menikah pada musim yang kaya dengan matahari tropis dan angin lembut bertiup manja dari pori-pori awan. Hujan daun berjatuhan dari ranting ketika kami saling mengucapkan janji seia sekata, sehidup semati. Dalam untung dan malang. Dalam suka dan duka. Dalam sakit dan sehat. Sampai maut memisahkan. Kuucapkan sumpahku sepenuh hati. Niatku memang tulus dan suci. Hari itu aku diliputi udara kebahagiaan yang membuatku mabuk kepayang, bagai menenggak berpuluh-puluh sloki scotch. Belum pernah kulihat istriku tampak demikian cantik dan bercahaya. Benar, dia sungguh-sungguh bersinar, seakan dia menjelma menjadi peri kunang-kunang. Aku terharu, terapung-apung oleh ombak lembut di samudra cintaku kepadanya.

Jangan katakan aku adalah lelaki yang cengeng atau melankolis, yang mudah tersentuh oleh hal-hal seperti itu. Apa pun suasananya, aku akan selalu tersentuh jika melihat kehadiran istriku. Dia mampu mewarnai hidupku dan menciptakan pelangi setelah hujan turun. Dia adalah kumparan intan permata yang selalu kusemat dalam lorong jiwa tergelapku.

Malamnya, kami bercinta di atas ranjang hotel kami yang romantis bertabur puluhan kelopak mawar. Kucium belakang telinganya yang wanginya seharum rumpun cemara pada pagi hari. Kuusap bibirnya yang lembut dan kenyal bagai jeli manis berwarna merah delima. Kurasakan degup jantungnya yang stabil dan menenangkan pada tanganku. Cintaku meleleh, membungkusnya rapat-rapat, dari ujung rambut terjauhnya sampai telapak kaki mungilnya. Oh, dia begitu rapuh dan indah. Tak pernah aku merasakan kekuatan dalam tubuh ini yang ingin selalu melindunginya dari segala marabahaya. Aku menatap istriku tanpa henti, seakan waktu tak pernah berputar dan musim tak pernah mengudar. Aku mati-matian menahan diri agar tidak jatuh tertidur, agar detik itu mengkristal, menjadi keabadian, tapi toh mata memang dapat mengkhianati hati. Ketika aku menutup kelopak mataku, aku masih merasakan bayangnya yang hidup dan bergerak dalam mimpiku.  

Dua bulan kemudian, istriku menyampaikan berita paling manis yang pernah kucecap. Dia hamil. Aku akan menjadi ayah dan dia akan menjadi ibu. Bagai berjalan di atas tanah basah setelah hujan embun, aku merasakan hidupku sungguh lengkap. Kami berlayar di dunia yang penuh manis gulali. Tidak pernah aku ingin memutar perahu ini kembali pada dermaga yang dulu.

Ketika kandungannya berusia tiga bulan, istriku keguguran. Aku menolak mengatakan bahwa itu adalah peristiwa tersedih yang pernah kualami. Tidak, peristiwa itu membuat cintaku semakin dalam padanya. Ketika rahimnya dibersihkan, aku ngotot untuk mendampinginya, menggenggam jemarinya yang pucat. Dokter sibuk di ujung tungkai kakinya, menyedot sisa-sisa anak kami dengan alat medis yang tampak seperti vacuum cleaner bagiku. Istriku dibius tidur. Aku menatap matanya yang terkadang berkedut. Aku tenggelam dalam mimpinya, memagut tubuhnya rapat dalam pelukanku.

Enam bulan kemudian dia hamil lagi. Kebahagiaan kami mendapatkan bayi hanya seumur jagung. Dua bulan setelahnya, dia kembali keguguran. Kali ini tangisnya bagai kawah gunung berapi yang sedang menggelegak. Dia ingin mengecek kondisi medisnya. Istriku geram, istriku penasaran, istriku berkabung. Apa gerangan yang membuatnya selalu keguguran? Aku mendampingi dan mendukungnya dalam setiap keputusannya. Berbulan-bulan dia menjelajahi hutan medis. Tes darah. Tes kesehatan. Tes fisik. Tidak apa-apa, kata semua dokter. Keguguran adalah hal normal yang terjadi pada calon ibu. Aku menggenggam tangannya erat-erat ketika kepalanya jatuh tertunduk layu di ruang konsultasi dokter.

Setahun kemudian, dia hamil lagi. Kali ini dia bertekad untuk menjaga kandungannya. Istriku beristirahat total di rumah. Dia menyiapkan sarang kecil di kamar kami. Tiap hari kulihat dia bergelung di atas ranjang, tidak melakukan apa-apa, hanya berbaring dan bermeditasi. Tidakkah kamu bosan, tanyaku. Tidak, katanya. Ini semua kulakukan untuk anak kita tercinta, begitu jawabnya penuh kasih sayang. Kuperhatikan dirinya dalam gelegak diam yang penuh kebahagian ketika melihat perutnya semakin membuncit. Istriku terlihat semakin seksi, sensual, dan menggairahkan. Sembilan bulan melaju demikian cepat. Dia melindungi janinnya baik-baik. Aku berterimakasih kepadanya atas pengorbanannya yang begitu besar.

Pagi itu ketika embun pertama menetes, dia melahirkan bayi-bayi kami. Ya, bayi-bayi. Bukan hanya satu bayi. Kami mendapat anugrah dua kali lipat. Bayi kembar yang manis. Sepasang lelaki dan perempuan. Tak pernah kurasakan kebahagiaan ini; begitu agung, begitu mewah. Kami memberi nama mereka Sabiya yang berarti pagi hari dalam bahasa Arab serta Liko yang berarti dilindungi oleh Buddha dalam bahasa Cina. Dua nama yang benar-benar berbeda; berasal dari dua kebudayaan, dua bahasa, dan dua agama besar. Aku mencium dua permata kami sebelum kembali ke ruang perawatan ibu, mengunjungi kekasih hatiku. 

Aku mencintaimu seperti tumbuhan yang urung mekar, dan membawa jiwa bunga-bunga itu di dalam dirinya, dan karena cintamu, aroma bumi yang pekat tumbuh diam-diam di dalam tubuhku.*

&    &    &

Aku tidak pernah berhenti mencintainya. Hanya istriku yang menjadi tiang utama perhatianku dalam hidup. Hanya dia seorang, tak ada lagi. Setelah melahirkan, dia berubah. Perhatiannya yang dulu bertubi-tubi untukku menjadi berkurang. Sering kali aku diabaikan. Sering kali aku didiamkan. Aku selalu bersabar menghadapinya. Kata orang, demikianlah perempuan yang baru melahirkan. Hormonnya berganti-ganti.

Dia senang mendekam dalam rumah sekarang. Jarang ingin keluar jika kuajak berjalan-jalan. Mengenakan daster setiap hari, tak pernah berdandan lagi. Tubuhnya bau susu. Aku heran, mengapa dia perlu membuat susu sebanyak itu. Katanya anak-anak kami menyusu dengan rakus. ASI-nya tidak mencukupi. Aku terdiam mendengar penuturannya.

Pada hari anniversary kami yang kelima, kuajak dia pergi mengunjungi negeri paling romantis yang pernah ada di dunia. Aku telah memesan perjalanan first class, hotel five stars, dan restoran mewah yang akan memanjakan kami berdua. Selama sepuluh hari itu aku ingin memusatkan perhatian hanya untuk dirinya saja. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Aku malas pergi, katanya. Kasihan bayi-bayi kami tak diajak serta. Aku gigih memaksanya, sampai akhirnya dia bersedia mengepak koper-koper kami dan menghabiskan sepuluh hari selanjutnya bersamaku saja.

Aku bahagia, melihat dia kembali menjadi istriku yang dulu. Dia tampak bergairah. Cintanya membara untukku. Kami bercinta setiap hari selama sepuluh hari. Kuisap buliran madu yang menetes turun dari rambut hitamnya. Kuhirup lelehan karamel yang mengilapkan tubuhnya. Aku mencintainya sepenuh hati, demi Tuhan. Kami adalah pasangan abadi yang dirancang oleh surga.

Ketika pulang, baru mencapai pegangan pintu, istriku kembali berubah lagi. Kurasakan cintanya padaku segera menyusut. Perhatiannya langsung terampas oleh hal-hal lain. Bayi-bayi kita rindu, demikian penjelasannya. Aku tidak percaya bayi-bayi dapat merindu. Kudiamkan dirinya selama berjam-jam sampai malam menjemput. Istriku tak menyadari kesedihanku. Dia sibuk di kamar, bersama bayi-bayi. Kudengar pekikan riangnya dari kamar kami yang kini semakin sepi. Istriku memutuskan tidur di kamar anak-anak agar selalu dekat dengan mereka.

Tahun-tahun pun terpeleset, meluncur cepat bagai kereta jet costar di taman bermain. Kata istriku, si kembar kini telah berusia lima tahun. Dia hendak mengadakan pesta besar-besaran. Untuk pertama kalinya, aku tidak setuju dengan pendapat istriku. Untuk apa pesta, kataku menjelaskan lemah lembut. Tapi dia ngotot, sehingga kami pun bertengkar hebat. Kukatakan padanya untuk segera melupakan ide itu. Dia tersinggung. Katanya aku lelaki egois yang mementingkan diri sendiri. Pedih hatiku mendengarnya. Tidak pernah secuil pun aku memikirkan diri sendiri di atas kepentingannya. Pesta terlupakan tapi perkelahian kami bagai bibit yang siap pecah untuk menumbuhkan tunasnya.

Aku lelah dengan rengekannya tentang kenakalan anak-anak. Aku tidak ingin mengomentari tentang kesukaannya mendadani Sabiya dan kebanggaannya terhadap ketampanan Liko. Aku capek dengan ceritanya tentang kemajuan anak-anak di sekolah. Aku tidak ingin sibuk mencari segala hal yang terbaik buat anak-anak.

Jangan salah. Aku bukannya tidak ingin membantu kerepotannya dalam rumah tangga, aku hanya lelah. Aku tidak ingin melakukan apa-apa lagi. Aku hanya menginginkan cintanya yang dulu begitu meledak-ledak padaku. Padahal cintaku padanya masih dahsyat. Masih legit. Sering kali aku melamun memerhatikan dirinya di meja makan. Baru saat mulutku hendak bercerita tentang segala hal yang ingin kuceritakan padanya—kegiatan yang dulu sering kami lakukan, dia mendadak harus mengomeli anak-anak. Katanya anak-anak tidak menghabiskan sop mereka. Terpaksa aku diam lagi. Dengan layu dan sedih kuperhatikan wajahnya yang menua, tampak garis-garis kerutan di sana sini. Aneh. Bukannya dia bertambah buruk di mataku, istriku semakin cantik jelita.

 Aku mencintaimu tanpa mengerti bagaimana, sejak kapan, atau dari mana. Aku mencintaimu dengan sederhana, tanpa kebimbangan, tanpa kesombongan. Aku mencintai seperti ini, karena tak ada cara lain untuk mencintai.*

&    &   &

Dua puluh tiga tahun telah berlalu. Dua puluh tiga tahun aku telah menikah dengannya. Dua puluh tiga tahun aku tak pernah surut mencintai istriku. Dia pilar hidupku. Dia cahaya mercusuarku. Dia bertahta di jiwaku selamanya.

Tapi kali ini terlalu kelewatan. Istriku semakin menuntut macam-macam dariku. Si kembar akan berusia tujuh belas tahun, katanya. Mereka pengin pesta sweet seventeen di hotel termewah di kota ini. Acaranya harus sempurna. Dia tidak peduli dengan harga katering atau even organizer yang akan disewa olehnya. Sebenarnya aku peduli, tapi aku diam. Karena aku mencintainya, kubiarkan dia melakukan hal-hal yang disukainya. Demi anak-anak, katanya memohon. Sekali dalam hidup kita, biarlah kita menyenangkan anak-anak.

Pesta itu sangat mewah. Ballroom terbesar disewa olehnya. Makanan berlimpah untuk ratusan tamu. Ruangan itu dihias, didekor dengan sempurna. Aku tidak ingin datang ke pesta. Aku sengaja berlambat-lambat di kantor, menyibukkan diri dengan meeting. Sebenarnya aku ingin ke luar kota saja, mengadakan perjalanan bisnis, biar tidak usah menghadiri pesta yang menurutku bodoh itu. Tapi istriku memohon agar aku tidak pergi ke luar kota. Entah untuk keberapa ratus kalinya, kukabulkan permohonannya. Gara-gara itu, dia menerorku dengan telepon sepanjang hari, mengingatkanku agar pulang cepat dan pergi ke pesta dengannya.

Akhirnya setelah berhasil mengulur waktu selama dua jam lebih, aku pulang juga. Di rumah, mata istriku tampak sembap karena terlalu lelah menungguku. Baiklah, aku menyerah. Aku sungguh mencintainya karena itu kupaksakan diriku mengenakan jas hitam yang telah disiapkan olehnya. Istriku tampak berseri-seri dalam balutan gaun pestanya. Aku jadi ingat malam pernikahan kami. Betapa cantiknya dia. Betapa bersinar-sinarnya dia. Jika harus kulakukan hal ini untuk membahagiakannya, aku tak perlu berpikir dua kali.

Di ballroom, pesta nyaris mulai. Kugandeng tangan istriku yang terasa dingin dan pucat. Para pelayan hotel berdiri di setiap ujung, mengamati gerak-gerik kami. Aku tersenyum, mengangguk kepada mereka. Istriku berjalan ke tengah ruangan. Aku berdiri di sana bersamanya. Aku ingat lagi ketika kami menikah, berjalan berdua, setengah mati berbahagia. Jika hidupku ditakdirkan untuk mencintainya, biarlah kuarungi jalan ini.

Di tengah ruangan, kami berdiri berdua. Hanya berdua. Sepasang kakek-nenek bergandengan penuh cinta. Tak ada siapa-siapa di ballroom.Kutatap matanya yang mulai merabun. Dia berbisik lirih agar aku memaafkan dirinya yang bodoh. Aku menatapnya masih dengan penuh cinta dan haru. Aku tidak pernah punya simpanan maaf untuknya, karena di mataku dia tak pernah salah.

Anak kami, Sabiya dan Liko, hari ini memang berusia tujuh belas tahun.Tujuh belas tahun yang lalu, mereka meninggal setelah dilahirkan istriku. Sepasang bayi kembar siam dempet di kepala itu hanya bertahan empat jam di pelukan lembut istriku. Kami menguburkan mereka. Ini tidak benar. Orangtua tidak seharusnya menguburkan anak, melainkan kebalikannya. Istriku tidak hanya menguburkan anak-anak kami, dia juga harus rela menguburkan mimpinya memiliki anak kandung. Rahimnya mati bersama bayi-bayi tercinta kami. Terus terang, aku tidak pernah peduli dengan kenyataan itu. Bagiku, dia tetaplah istriku yang paling sempurna.

Kugandeng kekasihku dan kuberikan sinyal kepada para pelayan agar segera memulai pesta. Musik pun mengalun dari orchestra yang disewa khusus olehnya. Makanan disajikan. Aku memeluk istriku di tengah-tengah ruangan. Perlahan-lahan, lampu kristal meremang dan hujan kelopak mawar berjatuhan dari atas. Kuayun langkahnya, kudekap tubuh hangatnya, dan kucium pipinya. Kami berdansa sampai malam menggigit bulan. Hanya kami berdua, saling menyentuh penuh kasih sayang. Hanya kami berdua, karena aku sangat mencintainya. Sesederhana itu. Sungguh.

Di sini, di mana "aku" dan "kau" tiada, begitu erat, hingga tanganmu di atas dadaku adalah tanganku. Begitu erat, hingga ketika kau tertidur, kelopak matakulah yang tertutup.*