Jaman dahulu kala di Rusia hidup pasangan suami-istri Simon dan Matrena.
Simon yang miskin ini adalah seorang pembuat sepatu. Meskipun hidupnya
tidaklah berkecukupan, Simon adalah seorang yang mensyukuri hidupnya
yang pas-pasan. Masih banyak orang lain yang hidup lebih miskin daripada
Simon. Banyak orang-orang itu yang malah berhutang padanya.Kebanyakan
berhutang ongkos pembuatan sepatu.
Maklumlah, di Rusia sangat dingin sehingga kepemilikan sepatu dan mantel
merupakan hal yang mutlak jika tidak mau mati kedinginan.
Suatu hari keluarga tersebut hendak membeli mantel baru karena mantel
mereka sudah banyak yang berlubang-lubang. Uang simpanan mereka hanya 3
rubel (rubel = mata uang Rusia) padahal mantel baru yang paling murah
harganya 5 rubel.
Maka Matrena meminta pada suaminya untuk
menagih hutang orang-orang yang telah mereka buatkan sepatu. Maka Simon
pun berangkat pergi menagih hutang. Tapi tak satupun yang membayar.
Dengan sedih Simon pulang. Ia batal membeli mantel.
Dalam
perjalanan pulang, Simon melewati gereja, dan saat itu ia melihat
sesosok manusia yang sangat putih bersandar di dinding luar gereja.
Orang itu tak berpakaian dan kelihatan sekali ia sangat kedinginan.
Simon ketakutan, "Siapakah dia? Setankah? Ah, daripada terlibat
macam-macam lebih baik aku pulang saja". Simon bergegas mempercepat
langkahnya sambil sesekali mengawasi belakangnya, ia takut kalau orang
itu tiba-tiba mengejarnya.
Namun ketika semakin jauh, suara
hatinya berkata, "HAI SIMON, TAK MALUKAH KAU? KAU PUNYA MANTEL MESKIPUN
SUDAH BERLUBANG-LUBANG, SEDANGKAN ORANG ITU TELANJANG. PANTASKAH ORANG
MENINGGALKAN SESAMANYA BEGITU SAJA?"
Simon ragu, tapi akhirnya
toh ia balik lagi ke tempat orang itu bersandar. Ketika sudah dekat,
dilihatnya orang itu ternyata pria yang wajahnya sungguh tampan.
Kulitnya bersih seperti kulit bangsawan. Badannya terlihat lemas dan
tidak berdaya, namun sorot matanya menyiratkan rasa terima kasih yang
amat sangat ketika Simon memakaikan mantel luarnya kepada orang itu dan
memapahnya berdiri. Ia tidak bisa menjawab sepatah kata pun atas
pertanyaan-pertanyaan Simon, sehingga Simon memutuskan untuk membawanya
pulang.
Sesampainya di rumah, Matrena marah sekali karena Simon
tidak membawa mantel baru dan membawa seorang pria asing. "Simon, siapa
ini? Mana mantel barunya? "
Simon mencoba menyabarkan Matrena,
"Sabar, Matrena.... dengar dulu penjelasanku. Orang ini kutemukan di
luar gereja, ia kedinginan, jadi kuajak sekalian pulang".
"Bohong!! Aku tak percaya....sudahlah, pokoknya aku tak mau dengar
ceritamu! Sudah tahu kita ini miskin kok masih sok suci menolong orang
segala!! Usir saja dia!!"
"Astaga, Matrena! Jangan berkata
begitu, seharusnya kita bersyukur karena kita masih bisa makan dan punya
pakaian, sedangkan orang ini telanjang dan kelaparan. Tidakkah di
hatimu ada sedikit belas kasih?"
Matrena menatap wajah pria
asing itu, mendadak ia merasa iba. Lalu disiapkannya makan malam
sederhana berupa roti keras dan bir hangat. "Silakan makan, hanya
sebeginilah makanan yang ada. Siapa namamu dan darimana asalmu?
Bagaimana ceritanya kau bisa telanjang di luar gereja?"
Tiba-tiba wajah pria asing itu bercahaya. Mukanya berseri dan ia
tersenyum untuk pertama kalinya. "Namaku Mikhail, asalku dari jauh.
Sayang sekali banyak yang tak dapat kuceritakan. Kelak akan tiba saatnya
aku boleh menceritakan semua yang kalian ingin ketahui tentang aku. Aku
akan sangat berterima kasih kalau kalian mau menerimaku bekerja di
sini."
"Ah, Mikhail, usaha sepatuku ini cuma usaha kecil. Aku takkan sanggup menggajimu", demikian Simon menjawab.
"Tak apa, Simon. Kalau kau belum sanggup menggajiku, aku tak keberatan
kerja tanpa gaji asalkan aku mendapat makan dan tempat untuk tidur."
"Baiklah kalau kau memang mau begitu. Besok kau mulai bekerja".
Malamnya pasangan suami-istri itu tak dapat tidur. Mereka
bertanya-tanya. "Simon tidakkah kita keliru menerima orang itu?
Bagaimana jika Mikhail itu ternyata buronan?" Matrena bertanya dengan
gelisah pada Simon.
Simon menjawab, "Sudahlah Matrena.
Percayalah pada pengaturan Tuhan. Biarlah ia tinggal di sini.Tingkah
lakunya cukup baik. Kalau ternyata ia berperilaku tidak baik, segera
kuusir dia".
Esoknya Mikhail mulai bekerja membantu Simon
membuat dan memperbaiki sepatu. Di bengkelnya, Simon mengajari Mikhail
memintal benang dan membuat pola serta menjahit kulit untuk sepatu.
Sungguh aneh, baru tiga hari belajar, Mikhail sudah bisa membuat sepatu
lebih baik dan rapi daripada Simon.
Lama kelamaan bengkel
sepatu Simon mulai terkenal karena sepatu buatan Mikhail yang bagus.
Banyak pesanan mengalir dari desa-desa yang penduduknya kaya. Simon
tidak lagi miskin. Keluarga itu sangat bersyukur karena mereka sadar,
tanpa bantuan tangan terampil Mikhail, usaha mereka takkan semaju ini.
Namun mereka juga terus bertanya-tanya dalam hati, siapa sebenarnya
Mikhail ini. Anehnya, selama Mikhail tinggal bersama mereka, baru sekali
saja ia tersenyum, yaitu dulu saat Matrena memberi Mikhail makan. Namun
meski tanpa senyum, muka Mikhail selalu berseri sehingga orang tak
takut melihat wajahnya.
Suatu hari datanglah seorang kaya
bersama pelayannya. Orang itu tinggi besar, galak dan terlihat kejam.
"Hai Simon, Aku minta dibuatkan sepatu yang harus tahan setahun
mengahadapi cuaca dingin. Kalau sepatu itu rusak sebelum setahun,
kuseret kau ke muka hakim untuk dipenjarakan!! Ini, kubawakan kulit
terbaik untuk bahan sepatu. Awas, hati-hati ini kulit yang sangat
mahal!"
Di pojok ruangan, Mikhail yang sedari tadi duduk diam,
tiba-tiba tersenyum. Mukanya bercahaya, persis seperti dulu ketika ia
pertama kalinya tersenyum. Sebenarnya Simon enggan berurusan dengan
orang ini. Ia baru saja hendak menolak pesanan itu ketika Mikhail
memberi isyarat agar ia menerima pesanan itu.
Simon berkata,
"Mikhail, kau sajalah yang mengerjakan sepatu itu. Aku sudah mulai tua.
Mataku agak kurang awas untuk mengerjakan sepatu semahal ini. Hati-hati,
ya. Aku tak mau salah satu atau malah kita berdua masuk penjara."
Ketika Mikhail selesai mengerjakan sepatu itu, bukan main terkejutnya
Simon. "Astaga, Mikhail, kenapa kau buat sepatu anak-anak? Bukankah yang
memesan itu orangnya tinggi besar? Celaka, kita bisa masuk penjara
karena...."
Belum selesai Simon berkata, datang si pelayan
orang kaya. "Majikanku sudah meninggal. Pesanan dibatalkan. Jika masih
ada sisa kulit, istri majikanku minta dibuatkan sepatu anak-anak saja".
"Ini, sepatu anak-anak sudah kubuatkan. Silakan bayar ongkosnya pada
Simon", Mikhail menyerahkan sepatu buatannya pada pelayan itu. Pelayan
itu terkejut, tapi ia diam saja meskipun heran darimana Mikhail tahu
tentang pesanan sepatu anak-anak itu.
Tahun demi tahun berlalu,
Mikhail tetap tidak pernah tersenyum kecuali pada dua kali peristiwa
tadi. Meskipun penasaran, Simon dan Matrena tak pernah berani
menyinggung-nyinggung soal asal usul Mikhail karena takut ia akan
meninggalkan mereka.
Suatu hari datanglah seorang ibu dengan
dua orang anak kembar yang salah satu kakinya pincang! Ia minta
dibuatkan sepatu untuk kedua anak itu. Simon heran sebab Mikhail tampak
sangat gelisah. Mukanya muram, padahal biasanya tidak pernah begitu.
Saat mereka hendak pulang, Matrena bertanya pada ibu itu, "Mengapa salah satu dari si kembar ini kakinya pincang?"
Ibu itu menjelaskan, "Sebenarnya mereka bukan anak kandungku. Mereka
kupungut ketika ibunya meninggal sewaktu melahirkan mereka. Padahal
belum lama ayah mereka juga meninggal. Kasihan, semalaman ibu mereka
yang sudah meninggal itu tergeletak dan menindih salah satu kaki anak
ini Itu sebabnya ia pincang. Aku sendiri tak punya anak, jadi kurawat
mereka seperti anakku sendiri."
"Tuhan Maha Baik, manusia dapat
hidup tanpa ayah ibunya, tapi tentu saja manusia takkan dapat hidup
tanpa Tuhannya", kata Matrena.
Mendengar itu, Mikhail kembali
berseri-seri dan tersenyum untuk ketiga kalinya. Kali ini bukan wajahnya
saja yang bercahaya, tapi seluruh tubuhnya. Sesudah tamu-tamu tersebut
pulang, ia membungkuk di depan Simon dan Matrena sambil berkata,
"Maafkan semua kesalahan yang pernah kuperbuat, apalagi telah membuat
gelisah dengan tidak mau menceritakan asal usulku. Aku dihukum Tuhan,
tapi hari ini Tuhan telah mengampuni aku. Sekarang aku mohon
pamit."Simon dan Matrena tentu saja heran dan terkejut, "Nanti dulu
Mikhail,tolong jelaskan pada kami siapakah sebenarnya kau ini?"
Mikhail menjawab sambil terus tersenyum, "Sebenarnya aku adalah adalah
satu malaikat Tuhan. Bertahun-tahun yang lalu Tuhan menugaskan aku
menjemput nyawa ibu kedua anak tadi. Aku sempat menolak perintah Tuhan
itu tapi kuambil juga nyawa ibu mereka. Aku menganggap Tuhan kejam.
Belum lama mereka ditinggal ayahnya, sekarang ibunya harus meninggalkan
mereka juga. Dalam perjalanan ke surga, Tuhan mengirim badai yang
menghempaskanku ke bumi. Jiwa ibu bayi menghadap Tuhan sendiri. Tuhan
berkata padaku, : 'MIKHAIL, TURUNLAH KE BUMI DAN PELAJARI KETIGA
KEBENARAN INI HINGGA KAU MENGERTI:PERTAMA, APAKAH YANG HIDUP DALAM HATI
MANUSIA?KEDUA, APA YANG TAK DIIJINKAN PADA MANUSIA?KETIGA, APA YANG
PALING DIPERLUKAN MANUSIA?'
"Aku jatuh di halaman gereja,
kedinginan dan kelaparan. Simon menemukan dan membawaku pulang. Waktu
Matrena marah-marah dan hendak mengusir aku, kulihat maut dibelakangnya.
Seandainya ia jadi mengusirku, ia pasti mati malam itu. Tapi Simon
berkata, "Tidakkah di hatimu ada sedikit belas kasih?" Matrena jatuh iba
dan memberi aku makan. Saat itulah aku tahu kebenaran pertama:"YANG
HIDUP DALAM HATI MANUSIA ADALAH BELAS KASIH"
"Kemudian ada
orang kaya yang memesan sepatu yang tahan satu tahun sambil marah-marah.
Aku melihat maut di belakangnya. Ia tidak tahu ajalnya sudah dekat. Aku
tersenyum untuk kedua kalinya. Saat itulah aku tahu kebenaran
kedua:"MANUSIA TIDAK DIIJINKAN MENGETAHUI MASA DEPANNYA. MASA DEPAN
MANUSIA ADA DI TANGAN TUHAN"
"Hari ini datang ibu angkat
bersama kedua anak kembar tadi. Ibu kandung si kembar itulah yang
diperintahkan Tuhan untuk kucabut nyawanya. Dan aku melihat si kembar
dirawat dengan baik oleh ibu lain. Aku tersenyum untuk ketiga kalinya
dan kali ini tubuhku bercahaya. Aku tahu kebenaran yang ketiga:"MANUSIA
DAPAT HIDUP TANPA AYAH DAN IBUNYA TAPI MANUSIA TIDAK AKAN DAPAT HIDUP
TANPA TUHANNYA."
Simon, Matrena, terima kasih atas kebaikan
kalian berdua. Aku telah mengetahui ketiga kebenaran itu, Tuhan telah
mengampuniku. Semoga kasih Tuhan senantiasa menyertai kalian sepanjang
hidup."
Mikhail kembali ke surga.