Senin, 25 Juni 2012

I love Mom, Forever


“Aku benci ibu…”, teriakku keras dan marah pada ibuku yang bermata satu dan bersuara seperti monster.
Bagaimana aku tidak marah, saat sekolahku mengadakan pertemuan orang tua dan murid, ibuku juga diundang. Aku sebenarnya telah menyembunyikan surat undangan itu, tetapi para tetangga yang mengenal ibuku memberitahunya.
Lalu apa penyebab aku begitu marah pada ibuku?
karena ia mempermalukanku didepan teman-temanku. Ketika hari pertemuan tiba, ibuku datang pada jam istirahat dan membawakanku bekal. Dengan suaranya yang rusak berat ketika ia memanggilku sudah membuatku malu. Lalu yang lebih memalukanku adalah ibuku meminta supaya ia yang menyuapiku. Tawa dan olokan langsung meledak mendengar hal itu.
Saat sampai dirumah, aku langsung saja marah dan melontarkan semua yang kupikirkan tanpa rasa bersalah, “Jika ibu terus membuatku malu seperti itu, mengapa ibu tidak mati saja?”, kataku langsung berlari keatas menanggis dan membanting pintu kamarku.
Beberapa tahun telah berlalu. Sejak kejadian itu aku rajin belajar dan menabung. Aku jarang sekali berbicara dengan ibuku. Tetapi ibuku selalu tersenyum setiap kali dia bertanya tentang bagaiaman hariku dan kujawab dengan kata-kata bisu.
Setelah aku merasa cukup mengumpulkan uang, akupun keluar dari rumah ibuku dan menyewa apartemen sendiri. Ibuku hanya tersenyum dan berurai air mata ketika malamnya kukatakan aku ingin hidup mandiri. Ia tidak berkata apa-apa, hanya tersenyum saja, dan itu semakin membuatku ingin cepat pergi saja.
Bertahun-tahun telah berlalu dan akupun telah menikah. Aku dikaruniai dua anak perempuan yang cantik dan sehat. Suatu hari datang seorang wanita tua berkunjung kerumahku. Anak-anakku yang membukakan pintu dan melihatnya menjadi takut. Ketika aku keluar, aku langsung saja mengusirnya. “Pergi kamu dari sini, kamu menakuti anak-anakku saja”, bentakku.
Wanita tua ini lalu membungkukkan dirinya seakan-akan meminta maaf, wajah tuanya tertutupi kerudung yang sudah sangat berumur sehingga aku tidak jelas melihat wajahnya. Lalu dia tersenyum padaku dan mohon diri. Entah mengapa aku merasa tidak asing lagi dengan senyuman itu. Saat beranjak pergi, kulihat tangannya memegang sendok kecil berwarna biru tua.
Beberapa bulan telah berlalu sejak kejadian itu. Suatu hari aku dan istriku sedang membersihkan gudang kami yang sudah cukup lama tidak terpakai. Secara tidak sengaja aku menemukan sebuah album foto tua masa kecilku. Entah sudah berapa puluh tahun aku menyembunyikan album itu dan album tua ini muncul kembali seakan-akan ingin mengatakan sesuatu.
Malamnya, ketika istriku dan anak-anakku terlelap dalam tidurnya, aku diam-diam membuka album foto tuaku. Halaman per halaman aku melihat penuh seksama album foto itu dan terkenang kembali kenangan masa kecilku. Terlihat jelas sekali aku yang masih kecil tertawa lepas bersama kedua orang tuaku.
Ayahku meninggal karena kecelakaan sewaktu aku masih kecil. Ajaibnya ibuku dan aku selamat. Saat itu aku tidak tahu bagaimana aku dan ibuku bisa selamat dari kecelakaan itu, karena dari cerita paman dan bibiku setelah aku cukup besar, mobil yang dibawa ayahku hancur lebur jatuh dari ketinggian.
Sambil mengenang kembali semua kenangan dialbum foto itu, aku sampai pada bagian dimana aku paling ingin melupakan kenangan itu. Ada foto ibuku yang bermata satu dan hampir bisu dengan seorang anak laki-laki yang tertawa bahagia disana, dan anak itu memakai baju kaos bertuliskan I LOVE MOM FOREVER. Ya, anak itu adalah aku yang masih belia.
Aku merasakan ada sesuatu yang mengalir dipipiku. Waktu kusentuh ternyata itu air mataku. Aku menanggis tanpa kusadari. Hatiku entah mengapa merasa sakit sekali. Tapi bukan sakit karena benci selayaknya aku masih kecil melainkan sakit karena ada sesuatu yang sangat kusesali.Sebelum aku mendapatkan jawaban atas perasaan yang sedang kurasakan, selembar surat yang dilipat rapi dan dibungkus plastik transparan jatuh dari selipan album fotoku. Aku mengambil surat itu dan aku hampir tidak percaya ketika membaca surat itu. Surat yang ditulis ibuku.
“Mike sayang, ibu sangat sayang padamu”.
“Kamu pasti tidak mengira akan menemukan surat ini. Dan ibu juga yakin saat kamu membaca surat ini, kamu pasti sudah jauh dari ibu. Bagaimana ibu mengetahuinya? percayalah, aku adalah ibumu, aku yang merawatmu dan aku sangat menyayangimu”.
“Ibu tahu selama ini terutama masa kecilmu tidaklah membahagiakan karena kondisi ibu yang memalukan dan menakutkan bagi teman-temanmu. Ibu juga tahu kamu pasti sangat malu dan jadi bahan olokan temanmu. Tetapi, ibu selalu bangga padamu dan tidak pernah sedikitpun membencimu”.
“Mike sayang, ibu sangat senang ternyata matamu bisa berfungsi sempurna. Ibu sangat takut kamu akan kehilangan penglihatanmu sejak kecelakaan yang menimpamu dulu. Atas petunjuk dokter dan demi masa depanmu ibu merelakan satu mata ibu, untunglah mata itu cocok sekali untukmu”.
“Maafkan ibu ya karena menyimpan rahasia selama ini, ibu tidak mau menjadi beban bagimu. Jangan pernah merasa menyesal karena ibu tidak pernah membencimu sekalipun dulu kamu berharap ibu lebih baik lenyap dari hadapanmu.”.
“Ketika kamu mengatakan ingin hidup mandiri, ibu begitu senang karena ibu tidak akan menjadi bebanmu lagi. Ibu sebenarnya sangat merindukanmu, tetapi demi kebahagiaanmu ibu rela menyendiri. Untunglah ibu sisakan satu foto waktu kecilmu yang ibu simpan supaya ketika ibu sangat rindu padamu ibu bisa melihat fotomu sehingga tidak kesepiaan”.
“Mike sayang, ibu dengan terpaksa menyelipkan surat ini dialbum foto ini karena ibu tahu sifatmu yang belum bisa memaafkan ibu yang telah mempermalukanmu dulu. Ibu tahu mungkin saja album foto ini akan kamu buang dan surat ini tidak akan pernah dibaca, tetapi ibu juga yakin kamu tidak akan membuangnya karena ada foto kenangan ayahmu disana.”.
“Maafkan ibu ya yang telah berani menulis surat ini. Ibu janji tidak akan menjadi bebanmu lagi. Ibu hanya terlalu merindukanmu. MOM LOVE YOU FOREVER”.
Aku tidak mampu berpikir apa-apa lagi setelah membaca surat yang ditulis ibuku bertahun-tahun lalu yang ditujukan untukku setelah dewasa ini. Dan yang paling membuatku terkejut, dibelakang surat itu tertempel satu foto tua, seorang wanita bersama seorang anak laki-laki kecil yang sangat bahagia dan ditangan wanita ini ada sebuah sendok kecil berwarna biru tua. Foto satu-satunya ibuku yang disimpannya.
Kuambil jaketku. Kuambil kunci mobilku dan kupacu dengan kecepatan penuh mobilku pada malam itu juga. Tidak perlu sejam aku telah tiba dikota kelahiranku. Sebuah kota kecil dengan suasana yang masih sama sejak aku meninggalkannya.
Aku berlari menuju rumah ibuku. Kutelusuri lorong-lorong kecil jalan pintas. Aku masih ingat sekalipun telah puluhan tahun aku tidak pulang. Dan, aku menemukan seorang wanita tua duduk dikursi malas didepan pintu. Kursi malas almarhum ayahku.
Dengan kaki gemetaran aku mendekati wanita tua ini. Rambutnya telah putih semua. Tangannya keriput tua. Napasnya pelan dan lemah. Saat aku hendak membelai wajahnya, kudengar pintu rumah terbuka.
“Tuan? Anda siapa?”, tanya wanita muda ini padaku. “Anda siapa?”, tanyaku kembali sambil melihat pakaian yang dikenakannya yang kutebak seorang pelayan rumah. Dan memang benar, ia adalah pelayan rumah sekaligus yang mengurus ibuku. Namanya Maria.
Sambil menikmati teh panas yang diseduhkan Maria, aku pun mengetahui semua kebenaran yang membuatku sangat menyesalinya.
“Nyonya Elisabeth terkena penyakit Parkinson beberapa bulan yang lalu ketika pulang dari luar kota sewaktu pergi mengunjungi anaknya. Sebenarnya tanda-tandanya telah ada beberapa tahun yang lalu. Tetapi nyonya Elisabeth bersikeras bahwa dia tidak apa-apa”, kata Maria membuka pembicaraan. Kulihat matanya berkaca-kaca.
“Apakah anda tahu tuan, nyonya Elisabeth adalah wanita yang paling disayangi dikota kecil ini. Ia sangat menyayangi anak-anak dan begitu peduli pada kami semua. Ia juga selalu membanggakan anaknya yang telah sukses diluar sana”.
“Ketika kami bertanya mengapa anaknya tidak pernah mengunjunginya, ia hanya menjawab bahwa dia melarang anaknya pulang karena akan menganggu bisnis anaknya. Baginya bisa mendengar suara anaknya dan sehat sudah cukup baginya. Dan tahukah tuan betapa bahagianya dia ketika beberapa bulan yang lalu dia pulang dari mengunjungi anaknya”.


“Dia menceritakan pada kami semua betapa bangganya dia mempunyai anak yang baik dan menantu yang cantik. Dia juga menceritakan dia mempunyai dua cucu yang cantik-cantik. Padahal suara yang dikeluarkannya sangatlah parau dan sangat susah untuk diucapkan, tetapi semangatnya dan kasih sayangnya yang luar biasa tidak menghalangi dia bercerita. Anaknya pastilah anak yang sangat berbakti dan sangat bangga”.
Maria menghentikan ceritanya karena tidak mampu menahan air matanya. Sedangkan aku mengigit bibirku dengan keras dan hampir menumpahkan air mata darah. Hatiku sakit. Sangat sangat sakit. Aku menyesal. Sangat sangat menyesal. Mengapa aku anak yang sangat tidak berbakti ini masih dibela?, dan yang lebih membuatku menyesal adalah mengapa aku harus menyadarinya setelah puluhan tahun lamanya?.
“Apakah tuan tahu mengapa nyonya Elisabeth kehilangan suaranya dan hampir bisu?”, tanya Maria padaku. Matanya memandangiku dalam-dalam seakan menghukum jiwaku. Aku mengelengkan kepalaku, dan aku memang tidak tahu. “Karena dia memberikan sebagian lidahnya pada tuan sewaktu masih kecil sehingga tuan bisa bicara seperti sekarang”, lanjut Maria mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi hendak menamparku.
Ya, itulah kebenaran yang sesungguhnya. Dan, kebenaran yang meluluh-lantakkan jiwa. Ternyata, kejadiaan kecelakaan dulu telah diketahui oleh seluruh kota tempat tinggalku. Tetapi karena sayangnya ibuku padaku, apalagi aku telah kehilangan ayahku, ibuku meminta dan memohon pada seisi kota untuk merahasiakan semua ini padaku.
Dari kebenaran yang diceritakan Maria, aku yang masih kecil karena kecelakaan kehilangan satu mataku terkena pecahan kaca dan lidahku robek. Aku bisa selamat karena ibuku yang terus memelukku dan melindungiku dengan tubuhnya. Bahkan aku baru tahu tangan kiri ibuku sudah lumpuh beberapa tahun lalu.
Demi nyawa dan masa depanku, ibuku merelakan satu matanya dan sebagian lidahnya untuk diberikan padaku. Dan balasannya apa? aku berharap dia mati dan meninggalkannya selama hampir 20 tahun lamanya.
Maria menurunkan tangannya. Terlihat betapa marahnya dia dari matanya. Lalu dia melanjutkan kebenaran selanjutnya yang membuatku untuk dihukum dineraka saja sudah tidak pantas.
“Ibumu telah kehilangan memorinya sejak pulang mengunjungimu. Yang dia ingat hanyalah kenangan tentang kamu yang masih kecil ketika pertemuan orang tua dan murid disekolah dimana saat itu dia membawakanmu bekal dan memintamu agar dia yang menyuapinya dengan sendok kecil berwarna biru tua”, lanjut Maria sambil menunjuk sendok kecil yang dipeluk ibuku dengan erat dalam tidurnya.
“Dan tuan yang paling tahu apa hadiah yang didapatkannya ketika ia mengetuk pintu tuan beberapa bulan lalu. Sejujurnya, kami diam-diam mengikutinya, dan ketika kami melihat tuan membentak ibu tuan, kami semuanya rasanya ingin membunuh tuan. Tetapi ketika ia menghampiri kami dengan senyumannya yang sangat indah juga berlinang air mata, dan mendengar apa yang dikatakannya, kami merasa tuan dibunuhpun terlalu murah hukumannya”.
“Tahukah apa yang dikatakan ibumu sebelum ia kehilangan seluruh memorinya?”, tanya Maria tiba-tiba berlutut didepanku dengan air mata yang bercucuran dengan sangat deras. Aku mengigit bibirku lebih keras lagi. Kurasakan bibirku sakit sekali tapi tidak sesakit hatiku malam ini. “Ibumu berkata pada kami”,
“Anakku sudah dewasa, ia tampan seperti ayahnya. Cucu-cucuku manis sekali, tapi mereka agak takut melihatku, mungkin belum terbiasa. Aku bahagia teman-teman, aku bahagia sekali anakku satu-satunya sehat. Matanya sempurna dan suaranya bagus dan tegas. Aku bahagia sekali…”.
Malam itu tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut kami. Maria masih berlutut dihadapanku. Ia memohon padaku agar tidak lagi menelantarkan ibuku lagi. Aku hanya menanggis dan menanggis. Kepalaku tertunduk sangat menyesali perbuatanku dulu. Sekali-kali tetesan darah dari bibirku jatuh diatas tanganku.
Aku memeluk Maria dengan erat. Lalu aku berjalan dengan pelan mendekati ibuku yang masih tertidur lelap dikursi malas. Aku berlutut didepannya. Kubelai wajahnya yang telah tua. Kugenggam tangan kirinya yang telah lumpuh lama. Lalu kubenamkan kepalaku pada pangkuannya sambil berkata dengan suara yang paling lirih yang pernah ada, “Maafkan aku ibu…, maafkan aku…, maafkan aku….”.
Maria yang melihatku langsung berlari keluar tidak mampu menyaksikan penyesalanku itu. Sebelum ia berlalu pergi, aku sempat melihatnya tersenyum, sebuah senyuman bahagia melihat seorang anak bertobat dan kembali pada ibunya.
Ketika aku sedang menanggis, ibuku terbangun oleh isakku. “Sayang, kenapa kamu menanggis?”, tanya ibuku dengan suaranya yang sangat parau dan pelan. Jika dulu aku begitu marah dan benci dengan suaranya, malam ini suaranya terdengar sangat indah. Aku tetapi menanggis tidak menjawab apa-apa.
“Sayang, kamu kok malam begini belum tidur? besok harus sekolah lho…, kamu mimpi buruk lagi ya?”, tanya ibuku sambil membelai wajahku dengan tangan kanannya. “Iya ibu, aku bermimpi buruk, mimpi yang sangat buruk. Aku bermimpi jadi anak yang sangat jahat dan tidak berbakti meninggalkan ibu setelah dewasa. Aku bahkan mengusir ibu dan tidak mengunjungi ibu sekalipun satu kali saja. Maafkan aku ibu…, maafkan aku…”, kataku semakin jadi dalam penyesalan dan tanggisku.
Kepalaku dielusnya, lalu dengan tenaganya yang sudah lemah ia mengecup keningku. “Anak bodoh, itukan cuma mimpi, lagipula ibu percaya kamu tidak akan melakukan itu. Sekarang jangan nanggis lagi ya. Besok ibu buatkan bekal kesukaanmu. Katanya besok ada pertemuan orang tua dan murid bukan?”, tanya ibuku dengan matanya yang penuh sayang.
“Iya bu, ibu harus datang ya…, Aku ingin pamerkan pada teman-temanku bahwa aku punya ibu paling cantik dan paling baik sedunia. Dan, aku ingin ibu yang menyuapiku ya…”, kataku berusaha menahan penyesalanku yang tiada tara.
“Hehehe…, dasar anak manja, apa kamu tidak malu dengan wajah ibu dan suara ibu yang…”, belum selesai ibuku menyelesaikan kata-katanya, aku langsung memeluknya dengan erat dan mesra. “Tidak bu…, jangan katakan itu…, aku tidak akan pernah malu, aku justru sangat bangga punya ibu sepertimu…”, kataku lirih dan pelan.
Malam itu kuhabiskan malamku bermanja dipangkuan ibuku. Dan malam itu juga, untuk pertama kalinya, aku melihat ibuku tertawa. Aku dan ibuku bercanda sampai berjam-jam lamanya sampai akhirnya ia tertidur dengan wajah yang sangat bahagia.
Kugendong ibuku kekamarnya, sebuah kamar nan sederhana dulu ketika aku masih kecil dijaganya tanpa lelah. Kubaringkan ibuku dan kukecup mesra keningnya. Aku tidak menanggis lagi karena aku kehilangan semua air mataku.
Saat aku hendak meninggalkan ibuku lelap dalam tidurnya, aku melihat sebuah kaos putih kecil tergantung disebuah lemari. Kaos kecil itu terjaga sangat rapi dan bersih, dan ditengahnya ada tulisan yang berbunyi I LOVE MOM FOREVER.
Kuambil kaos itu dan kupeluk dengan erat. Dan, malam itu juga untuk pertama kalinya aku berdoa dan bersumpah. Aku berdoa supaya Tuhan memberikan ibuku umur panjang dan sehat selalu, dan aku bersumpah akan merawat ibuku serta membuatnya bahagia setiap hari dan tidak akan pernah jauh dari sisinya selama hidupku.
Aku telah menyadarinya dan aku sangat sangat menyesalinya. Untunglah Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, aku masih diberi kesempatan. Aku tahu aku tidak akan bisa mengubah yang telah berlalu, tapi aku bersumpah akan membahagiakan ibuku bahkan sekalipun harus bertukar nyawa sampai ia menutup usia.
Kuhampiri ibuku, kulihat bagaimana ia tersenyum manis dalam tidurnya. Lalu ia mengigau, “Ibu sayang kamu Mike…”. Aku tersenyum. Mataku berkaca-kaca. Kukecup pipi ibuku. Kubisikan padanya,
“I LOVE YOU MOM, FOREVER…, AND EVER…”.

0 komentar:

Posting Komentar