Ia
pulang duduk seorang diri dengan suasana hening dan damai sedamai
hatinya. Tadi ketika seorang hamba Tuhan berbicara dengan penuh kuasa
Ilahi, hatinya dikuasai penyesalan yang sangat dalam teringat
kehidupannya yang penuh dosa. Ia melihat bagaimana hari-harinya dilewati
dengan berjudi, sampai tubuhnya payah dan tidak pernah sedikitpun
terpikir akan anak dan istrinya.
Bila ia kalah, anaknya yang datang untuk meminta uang belanja selalu
diumpatnya "Karena tadi aku kamu ganggu, maka aku jadi kalah!" Tak
pernah diperhatikannya istri dan anaknya yang semakin kurus menahan
derita batin dan jasmani. Bila kebetulan menang, uang yang didapatnya
dibelanjakan berbagai barang kebutuhan keluarga, karena pikirnya dengan
begitu keluarganya akan senang dan merasa terhibur. Ia berfikir
seolah-olah dengan memborong barang-barang (baik yang dibutuhkan ataupun
tidak) ia dapat mengurangi seluruh beban keluarganya.
Saat
semua disadarinya, pintu hatinya telah terbuka. Ketika hamba Injil itu
mengajak orang-orang untuk bertobat dan menerima Juruselamat, ia adalah
salah seorang diantara mereka. "Mulai saat ini, segala dosa saudara
telah dihapus oleh darah pengorbanan Kristus di kayu salib," berkata
hamba Injil itu, "damai sejahteralah saudara sekarang, dan tinggalkan
perbuatan dosa yang dahulu."
Pertobatan itu telah mengubah
dirinya, ia bertekad untuk meninggalkan segala perbuatan dosa yang
terdahulu. Tetapi setan tidak pernah tinggal diam, tak henti-hentinya
teman-teman berjudinya datang ke rumah mengajak kembali mencari
keuntungan yang tidak dihalalkan Tuhan. Bila ia berkata bahwa telah
bertobat serta menerima Kristus, mereka tertawa terbahak-bahak dan
berkata. "Kami ingin melihat berapa lama kau bisa bertahan sebagai orang
Kristen!" Ia mulai gelisah, akankah ia dapat bertahan dalam imannya?
Tiba-tiba ia teringat bagaimana Kristus mencurahkan darahNya sebagai
penebus dosa manusia, dosa dirinya, si pejudi. Maka dari dalam hatinya
yang baru disucikan timbul suatu tekad. Tuhan, demi menunjukkan kasih
setiaku padaMu, aku rela berkorban sekalipun dengan mencurahkahn
darahku. Ia memanggil istrinya, "Ambilkan aku golok" katanya dengan
tenang. Istrinya tidak berprasangka dan menuruti permintaan itu.
Dipegangnya golok itu, kemudian tangannya yang lain diletakkan di atas
meja. Golok diangkat dan istrinya memperhatikan perbuatannya dengan
perasaan ngeri. Apakah yang hendak dilakukan suaminya itu?
Darah mengalir deras, telunjuk terkapar diatas meja dan terpisah dari
tangannya. Dengan wajah pucat menahan sakit, ia memerintahkan istrinya
mengambil pembalut. "Selesai sudah," gumamnya karena baru saja memotong
jari telunjuknya. Keesokan harinya ketika teman-temannya datang, ia
mengangkat tangannya yang sudah tak berjari tinggi-tinggi.
"Aku
sudah tidak bisa memegang kartu lagi," katanya dengan tegas.
Teman-temannya pergi setelah mendengar apa yang terjadi, dan mereka
mengaku kalah karena iman mampu mengalahkan segala-galanya dan mampu
memberi kesaksian.
Di kota kecil Jepara, hidup seorang kakek 80
tahun. Jalan dan gerak-geriknya masih gagah, bicaranya jujur dan tegas.
Selama 40 tahun ia telah bersaksi dan tanpa didikan teologis telah
mempertobatkan beratus-ratus orang di kota itu. Bila secara kebetulan
kita bertemu dengan dia dan melirik ketangannya, akan melihat bahwa
tangannya tidak berjari telunjuk....
Rabu, 06 November 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar