Suatu pagi yang sunyi, di suatu desa kecil di Korea, ada sebuah bangunan kayu mungil yang atapnya ditutupi oleh seng-seng.
Itu adalah rumah yatim piatu dimana banyak anak tinggal akibat orang tua mereka meninggal dalam perang.
Tiba-tiba kesunyian pagi itu dipecahkan oleh bunyi mortir yang jatuh
diatas rumah yatim piatu itu. Atapnya hancur oleh ledakan, dan kepingan-kepingan
seng mental keseluruh ruangan sehingga membuat banyak anak yatim piatu
terluka. Ada seorang gadis kecil terluka dibagian kaki oleh kepingan
tersebut, dan kakinya hampir putus. Ia terbaring diatas puing-puing
ketika ditemukan. Pertolongan pertama segera dilakukan kepada anak-anak
yatim piatu itu dan seseorang segera dikirim ke rumah sakit terdekat
untuk meminta pertolongan.
Ketika para dokter dan perawat tiba,
mereka mulai memeriksa anak-anak yang terluka. Ketika dokter melihat
gadis kecil itu, ia menyadari bahwa pertolongan yang paling dibutuhkan
oleh gadis kecil itu secepatnya adalah darah. Ia segera melihat arsip
yatim piatu untuk mengetahui apakah ada anak yang memiliki golongan
darah yang sama.
Perawat yang bisa berbicara bahasa Korea mulai
memanggil nama-nama anak yang memiliki golongan darah yang sama dengan
gadis kecil itu. Beberapa menit kemudian, setelah terkumpul anak-anak
yang memiliki golongan darah yang sama, dokter berbicara kepada kelompok
anak-anak itu dan perawat menerjemahkan, “Apakah ada diantara kalian
yang bersedia memberikan darahnya untuk gadis kecil ini?”
Anak-anak itu tampak ketakutan, tetapi tidak ada yang berbicara. Sekali
lagi dokter itu memohon, “Tolong, apakah ada diantara kalian yang
bersedia memberikan darahnya untuk teman kalian? Karena jika tidak Ia
akan meninggal!”
Akhirnya ada seorang bocah laki-laki di
belakang mengangkat tangannya dan perawat segera membaringkannya di
ranjang untuk mempersiapkan proses transfusi darah.
Ketika perawat mengangkat lengan bocah untuk membersihkannya, bocah itu mulai gelisah.
“Tenang saja, “ kata perawat itu. “Tidak akan sakit kok.”
Lalu dokter mulai memasukkan jarum, ia mulai menangis.
“Apakah sakit?” tanya dokter itu.
Tetapi bocah itu malah menangis lebih kencang.
“Aku telah menyakiti bocah ini!” kata dokter itu didalam hati dan
mencoba meringankan sakit bocah itu dengan menenangkannya, tetapi tidak
ada gunanya.
Setelah beberapa lama, proses transfusi telah selesai dan dokter itu minta perawat untuk bertanya kepada bocah itu.
“Apakah sakit?”
Bocah itu menjawab, “Tidak, tidak sakit.”
Lalu kenapa kamu menangis?” tanya dokter itu.
“Karena aku sangat takut untuk meninggal ,” jawab bocah itu.
Dokter itu tercengang, “Kenapa kamu berpikir bahwa kamu akan meninggal?”
Dengan air mata dipipinya, bocah itu menjawab,
“Karena aku kira untuk menyelamatkan dia, aku harus menyerahkan seluruh darahku…”
Dokter itu tidak bisa berkata apa-apa, kemudian dia bertanya lagi,
“Lalu jika kamu pikir kamu akan meninggal, kenapa kamu bersedia untuk
memberikan darahmu?”
Sambil terisak ia berkata. “Karena dia adalah sahabatku, dan aku mengasihinya….”
Anak itu tahu bahwa karena kasihnya ia harus berkorban, namun ia tetap rela mati demi menyelamatkan seorang sahabatnya.
Selasa, 05 November 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar